Diantara rintik hujan yang mengantar senja ke tempat peristirahatannya , semilir angin berhembus menerpa wajah-wajah letih di jalanan membuat orang enggan untuk keluar rumah.
Genangan-genangan air mulai muncul di jalan-jalan beraspal yang tidak lama lagi akan memantulkan cahaya lampu-lampu jalan menandakan malam segera datang.
” Bu…Bu..sudah adzan mau sholat gak?” teriak anaknya membangunkan sang ibu,
tapi ibunya masih tertidur dengan pulasnya.
Anak itu diam lalu meneruskan bermain mobil-mobilan.
Setelah hampir setengah jam asyik bermain, anak tersebut kembali membangunkan ibunya
” Bu….Bu…, …Ibu gak sholat?…… bangun dong Bu…….Angga lapar nih !!” teriak anaknya, tapi ibunya masih tetap tertidur, tidak bergeming sedikitpun.
Karena keletihan membangunkan ibunya, ia pun tertidur di sampingnya. Anak itu berusia lima tahun dengan badan kurus dan lusuh, sedangkan ibunya berusia sekitar tiga puluh tahun dengan wajah kurus pucat seperti orang yang sakit keras.
Tidak beberapa lama adzan Isya berkumandang. Hujan semakin deras, jalanan tampak sepi. Anak itu terbangun sambil meringis karena merasa lapar.
Dia bangun lalu berlari ke arah masjid di seberang jalan.
Ia pun menengadahkan tangan kepada jama’ah masjid yang hendak melaksanakan sholat.
Anak itu telah terbiasa mengemis di depan masjid dan di persimpangan jalan, tetapi malam itu tidak satupun jama’ah yang memberikannya uang. Dia terus meringis menahan sakit perut yang belum terisi sejak pagi karena ketika siang hari ibunya muntah-muntah kemudian tidur dan belum bangun sampai malam itu.
” Aro’aitalladzii yukadzibu biddiin, fadzaa
likalladzii ya du’ul yatiim, wa laa ya khuddu ‘alaa tho ‘aamil
miskiin”
( Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin)...
terdengar suara imam membaca surat Al Maa’un dari dalam masjid tentang para pendusta agama.
Semua jama’ah hafal ayat itu tapi sama seperti nasib anak di luar masjid itu surah Al Maa’un tersebut
terlantar di sudut ingatan.
Anak itu belari kembali kepada ibunya sambil menangis menahan sakit, tubuhnya basah oleh air hujan.
Air yang bagi makhluk lain menjadi rahmat, tetapi baginya menjadi seperti sapaan Allah terakhir kepadanya.
Dia tertidur sambil memegang perut di dada ibunya.
Kedua ibu dan anak itu pada pagi harinya ditemukan warga telah meninggal dunia, meninggalkan derita yang dideranya , meninggalkan para pendusta agama yang tidak pernah mau menyapanya.
”INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI'UN”
Sahabat saudaraku fillah... Ketika malam hujan menghampiri kita, di saat kita berkumpul bersama keluarga dan merasakan kehangatan, maka sesekali ambillah payung lalu keluar rumahlah, carilah rintihan di sudut-sudut jalan, di halte-halte bis , sapalah mereka , redakan ketakutan di hati mereka berbagilah sedikit. Jika kokohnya rumah kita masih membuat takut anak anak kita ketika mendengar halilintar , lalu bagaimana dengan teriakan anak-anak tanpa atap tersebut, siapa tahu senyuman kita mampu mengusir galau dan resah di hati mereka lalu perlahan-lahan bisa melunturkan stempel pendusta agama di kening kita.
Atau di kala kita melihat pengemis di jalanan andaikan kita tidak bisa memberi barang yang berguna, berilah sedikit senyuman janganlah kita menghardik dan mencacinya.Siapa pun sebetulnya tidak ingin memiliki nasib yang demikian.
Buka mata, telinga dan hati mari kita peduli dan berbagi apapun yang kita miliki ,setidaknya sedikit bisa mengurangi beban di hati saudara-saudara kita.
Genangan-genangan air mulai muncul di jalan-jalan beraspal yang tidak lama lagi akan memantulkan cahaya lampu-lampu jalan menandakan malam segera datang.
Disudut jalan seorang anak kecil masih asyik memainkan mobil-mobilan bekas yang di perolehnya tadi siang dari tempat sampah.
Ibunya masih tertidur di sampingnya, atap-atap lebar rumah dan lebatnya pohon melindungi mereka dari sapuan air hujan, di sudut lain tampak beberapa pengemis dan pemulung juga mulai merebahkan diri.
” Allahu Akbar…Allahu Akbar” kumandang
adzan Maghrib terdengar saling bersahutan dari corong-corong spiker masjid, suara yang mengajak orang menemui Rabb-Nya.
Ibunya masih tertidur di sampingnya, atap-atap lebar rumah dan lebatnya pohon melindungi mereka dari sapuan air hujan, di sudut lain tampak beberapa pengemis dan pemulung juga mulai merebahkan diri.
” Allahu Akbar…Allahu Akbar” kumandang
adzan Maghrib terdengar saling bersahutan dari corong-corong spiker masjid, suara yang mengajak orang menemui Rabb-Nya.
” Bu…Bu..sudah adzan mau sholat gak?” teriak anaknya membangunkan sang ibu,
tapi ibunya masih tertidur dengan pulasnya.
Anak itu diam lalu meneruskan bermain mobil-mobilan.
Setelah hampir setengah jam asyik bermain, anak tersebut kembali membangunkan ibunya
” Bu….Bu…, …Ibu gak sholat?…… bangun dong Bu…….Angga lapar nih !!” teriak anaknya, tapi ibunya masih tetap tertidur, tidak bergeming sedikitpun.
Karena keletihan membangunkan ibunya, ia pun tertidur di sampingnya. Anak itu berusia lima tahun dengan badan kurus dan lusuh, sedangkan ibunya berusia sekitar tiga puluh tahun dengan wajah kurus pucat seperti orang yang sakit keras.
Tidak beberapa lama adzan Isya berkumandang. Hujan semakin deras, jalanan tampak sepi. Anak itu terbangun sambil meringis karena merasa lapar.
Dia bangun lalu berlari ke arah masjid di seberang jalan.
Ia pun menengadahkan tangan kepada jama’ah masjid yang hendak melaksanakan sholat.
Anak itu telah terbiasa mengemis di depan masjid dan di persimpangan jalan, tetapi malam itu tidak satupun jama’ah yang memberikannya uang. Dia terus meringis menahan sakit perut yang belum terisi sejak pagi karena ketika siang hari ibunya muntah-muntah kemudian tidur dan belum bangun sampai malam itu.
” Aro’aitalladzii yukadzibu biddiin, fadzaa
likalladzii ya du’ul yatiim, wa laa ya khuddu ‘alaa tho ‘aamil
miskiin”
( Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin)...
terdengar suara imam membaca surat Al Maa’un dari dalam masjid tentang para pendusta agama.
Semua jama’ah hafal ayat itu tapi sama seperti nasib anak di luar masjid itu surah Al Maa’un tersebut
terlantar di sudut ingatan.
Anak itu belari kembali kepada ibunya sambil menangis menahan sakit, tubuhnya basah oleh air hujan.
Air yang bagi makhluk lain menjadi rahmat, tetapi baginya menjadi seperti sapaan Allah terakhir kepadanya.
Dia tertidur sambil memegang perut di dada ibunya.
Kedua ibu dan anak itu pada pagi harinya ditemukan warga telah meninggal dunia, meninggalkan derita yang dideranya , meninggalkan para pendusta agama yang tidak pernah mau menyapanya.
”INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI'UN”
Sahabat saudaraku fillah... Ketika malam hujan menghampiri kita, di saat kita berkumpul bersama keluarga dan merasakan kehangatan, maka sesekali ambillah payung lalu keluar rumahlah, carilah rintihan di sudut-sudut jalan, di halte-halte bis , sapalah mereka , redakan ketakutan di hati mereka berbagilah sedikit. Jika kokohnya rumah kita masih membuat takut anak anak kita ketika mendengar halilintar , lalu bagaimana dengan teriakan anak-anak tanpa atap tersebut, siapa tahu senyuman kita mampu mengusir galau dan resah di hati mereka lalu perlahan-lahan bisa melunturkan stempel pendusta agama di kening kita.
Atau di kala kita melihat pengemis di jalanan andaikan kita tidak bisa memberi barang yang berguna, berilah sedikit senyuman janganlah kita menghardik dan mencacinya.Siapa pun sebetulnya tidak ingin memiliki nasib yang demikian.
Buka mata, telinga dan hati mari kita peduli dan berbagi apapun yang kita miliki ,setidaknya sedikit bisa mengurangi beban di hati saudara-saudara kita.
0 Response to "Siapa Pendusta Agama? (Renungan)"
Post a Comment